Siapa sangka bagian-bagian dari bermacam tanaman tertentu punya manfaat yang bernilai ekonomis. Daun tom atau indigofera, kayu tingi, kayu tegeran, buah jelawe, kayu merbau, sampai sabut kelapa ternyata bisa dimanfaatkan menjadi bahan pewarna alami batik yang menghasilkan warna natural nan apik.
Edia Rahayuningsih, seorang wanita peneliti dari Universitas Gadjah Mada berhasil meracik dan memproduksi pewarna batik alami dari tanaman-tanaman tersebut.
Ia mengaku, temuan penelitiannya tersebut bermula dari rasa prihatin melihat pencemaran dari limbah dan risiko kesehatan pembatik akibat penggunaan pewarna sintetis.
Selain itu, menurutnya, Indonesia sebetulnya kaya akan bahan sumber pewarna tekstil alami untuk menggantikan penggunaan pewarna sintetis.
"Pewarna batik sintetis kita tahu selama ini kita masih impor karena harganya murah. Padahal kita kaya keanekaragaman hayati yg bisa jadi sumber pewarna alami," ungkap Edia, penemu sekaligus produsen ekstrak pewarna batik alami Gama Indigo kepada detikFinance beberapa waktu lalu.
Dosen Jurusan Teknik Kimia FT-UGM ini mengawali usahanya dari penelitiannya tentang pewarna alami untuk menggantikan pewarna sintetis sejak 2004. Baru pada Maret 2012 produksi serbuk Indigo pertama kali.
Produk andalannya, yaitu pewarna alami biru terbuat dari daun indigofera tinctoria atau di Jawa disebut dengan daun tom. "Daun indigofera ini bisa menghasilkan serbuk biru tua pekat untuk bahan pewarna tekstil dan bahan serat lainnya. Tanamannya biasa tumbuh di lahan kritis dan tanah berpasir," kata Edia.
Menurutnya, ketersediaan tanaman ini di alam cukup besar namun selama ini belum termanfaatkan maksimal. Selain warna biru dari indigofera, Edia meracik pewarna alami kuning terbuat dari bahan kayu tegeran dan kulit buah Jalawe. Sedangkan warna coklat merah Ia ramu dari serbuk kayu merbau.
"Tanaman-tanaman ini cukup mudah diperoleh di alam, hanya tidak bisa langsung dimanfaatkan, butuh proses untuk dapatkan ekstraknya," jelasnya.
Ditanya soal harga, menurut Edia produknya tidak mahal jika dibandingkan dengan kualitas kain yang akan dihasilkan. Harga per kilogram serbuk yaitu Rp 800.000 untuk 30 kain.
Setiap 30 gram atau sekitar Rp 25.000 bisa dipakai untuk selembar kain sepanjang 2 meter. Di pasaran, pewarna sintetis dijual seharga Rp 60.000/kg.
"Nanti kalau sudah jadi kain, bisa lebih mahal dari kain dengan pewarna sintetis sebab lebih berkualitas," ujar Edia.
Menurutnya, pewarna sintetis buatannya ini ramah lingkungan dan praktis. "100 persen terbuat dari bahan alami, jadi tidak karsinogenik atau meracuni pembatik dan pekerja. Selain itu mudah digunakan, tahan lama dan warna tidak pudar," imbuhnya.
Edia pun mencoba memproduksi kain batik tulis berbahan pewarna alami buatannya. Selembar kain batik tulis dengan pewarna alami harganya Rp 500.000
"Dibanding kain batik umumnya, warna pakaian atau kain dengan pewarna alami kelihatan lebih soft dan natural," tutur Edia.
Beberapa produsen kain batik atau tekstil sudah menjadi langganannya dari dalam maupun luar negeri. "Banyak produsen tertarik, sebab ini ramah lingkungan jadi sehat buat pembatik dan pekerja lainnya. Ada juga peminat dari Korea dan Jepang,"
Edia mengungkapkan, kain dengan pewarna alami punya nilai tambah sehingga baju batiknya pun dihargai lebih tinggi ketimbang batik pewarna sintetis.
"Kalau biasanya baju batik yang pakai pewarna sintetis dijual Rp 100.000, pakai pewarna alami laku dihargai Rp 500.000. Menurutnya, pewarna alami bisa meningkatkan kualitas kain batik," katanya.
Selain produksi ekstrak pewarna alami beserta kain batik tulis, Edia mempersilakan siapa pun yang tertarik dengan pewarna alami untuk datang ke lokasi workshopnya yang beralamat di Jl. Kaliurang Km.10 Dusun Jetis Baran, RT 04/38 Sardonohardjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Sumber : Detik.com