WE Online, Jakarta - Koperasi di Indonesia dinilai masih "miskin"
dalam hal menjalin kerja sama bisnis internasional yang potensial
memperluas pemasaran dan jaringan usaha koperasi.
"Koperasi-koperasi kita minus kerja sama antarkoperasi di luar negeri.
Banyak koperasi sukses beroperasi di negara asalnya sebagai model
kepemilikan masyarakat lokal, namun menjadi korporasi yang menyerap
keuntungan di negara kita semata sebagai pasar dan hanya memberikan
keuntungan bagi segelintir pengusaha agennya saja," kata pengamat
ekonomi koperasi Suroto di Jakarta, Selasa (13/1/2015).
Ia
mengatakan sebetulnya koperasi-koperasi besar yang telah mendunia secara
organisasi diikat oleh prinsip kerja sama antar koperasi atau prinsip
ke-tujuh dari prinsip koperasi sebagaimana disebut dalam International
Co-operative Identity Statement (ICIS) yang ditandatangani di Manchester
tahun 1995 dan dijadikan acuan kerja koperasi seluruh dunia.
Sayangnya menurut dia, regulasi di Indonesia tidak mengarahkan koperasi
untuk mudah menjalin bisnis internasional tapi justru banyak regulasi
berlaku diskriminatif terhadap badan hukum koperasi. "Undang- Undang
Penanaman Modal kita justru berlaku sebaliknya. Perusahaan-perusahaan
koperasi tersebut hanya boleh beroperasi dalam bentuk perseroan di
Indonesia," katanya.
Ia berpendapat regulasi di Indonesia
menyangkut koperasi sedikit banyaknya sudah tidak sesuai dengan
konstitusi tertinggi UUD 1945. "UU Penanaman Modal kita perlu segera
direvisi dan agar kita dapat mengangkat koperasi kita ke percaturan
bisnis internasional," katanya.
Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Koperasi dan UKM kata dia diharapkan bisa menjadi hub bagi
kepentingan kerja sama antar koperasi dengan koperasi di luar negeri.
Hal itu perlu dilakukan menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA). "Kementerian Koperasi dan UKM akan sangat strategis
perannya kalau dapat mendorong inisiatif ini untuk memunculkan simbiosis
mutualisme bisnis antar koperasi terutama di tingkat Asia-Pasifik,"
katanya.
Ia menambahkan gerakan koperasi dunia yang berafiliasi
dalam organisasi International Co-operative Alliance (ICA) telah merilis
300 koperasi besar kelas dunia dengan putaran bisnis mencapai 2.205
miliar dolar AS atau setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Spanyol.
"Dari 300 koperasi besar tersebut banyak sebetulnya yang telah menjual
produk dan juga beroperasi di Indonesia seperti misalnya ACE Hardware,
Rabobank, Land O'Lakes, Fontera, Campina, Sunkist dan masih banyak
lagi," katanya.
Suroto mengatakan usaha kelas dunia tersebut di
negaranya sebetulnya merupakan koperasi dan dimiliki secara masif oleh
anggotanya. Seperti Ace Hardware misalnya, di negara asalnya Amerika
Serikat dimiliki oleh jaringan para tukang, sementara Rabobank, di
negara asalnya Belanda, bank ini dimiliki para nasabahnya.
Fontera yang dimiliki oleh para peternak koperasi susu di Selandia Baru.
"Koperasi-koperasi tersebut di negaranya menjadi alat untuk menciptakan
sistem pembagian pendapatan secara adil bagi masyarakat anggotanya.
Tapi sayang, di Indonesia mereka hanya bekerja sama dalam kepentingan
bisnis dengan para pengusaha perorangan atau beroperasi sebagai
korporasi dalam bentuk persero," katanya.
Oleh karena itu, ia
menyayangkan koperasi kelas dunia itu meskipun beroperasi di Indonesia
tidak bisa menghasilkan distribusi pendapatan bagi masyarakat di Tanah
Air. "Tapi sebaliknya masyarakat kita hanya sebagai pasar dan menjadi
penyumbang bagi keuntungan perusahaan tersebut untuk dinikmati
keuntungannya oleh masyarakat anggota-anggota koperasi di negara
asalnya," katanya. (Ant)
Editor: Achmad Fauzi
Foto: Sufri Yuliadi
http://wartaekonomi.co.id/search/search_result/38827.html